Penyelenggaraan Rekam Medis
Dalam audit medis, umumnya sumber data yang digunakan adalah rekam medis pasien, baik yang rawat jalan maupun yang rawat inap. Rekam medis adalah sumber data yang paling baik di rumah sakit, meskipun banyak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan rekam medis adalah sering tidak adanya beberapa data yang bersifat sosial-ekonomi pasien, seringnya pengisian rekam medis yang tak lengkap, tidak tercantumnya persepsi pasien, tidak berisi penatalaksanaan “pelengkap” seperti penjelasan dokter dan perawat, seringkali tidak memuat kunjungan kontrol pasca perawatan inap, dll.
Dampak dari audit medis yang diharapkan tentu saja adalah peningkatan mutu dan efektifitas pelayanan medis di sarana kesehatan tersebut. Namun di samping itu, kita juga perlu memperhatikan dampak lain, seperti dampaknya terhadap perilaku para profesional, tanggung-jawab manajemen terhadap nilai dari audit medis tersebut, seberapa jauh mempengaruhi beban kerja, rasa akuntabilitas, prospek karier dan moral, dan jenis pelatihan yang diperlukan
Aspek legal terpenting dari audit medis adalah penggunaan informasi medis pasien, yang tentu saja terkait dengan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Pada Permenkes RI tentang rekam medis disebutkan bahwa salah satu tujuan dari rekam medis adalah untuk riset dan sebagai data dalam melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan medis. Permenkes ini juga memberikan peluang pembahasan informasi medis seseorang pasien di kalangan profesi medis untuk tujuan rujukan dan pengembangan ilmiah. Demikian pula Asosiasi dokter sedunia (WMA, Oktober 1983) menyatakan bahwa penggunaan informasi medis untuk tujuan riset dan audit dapat dibenarkan.
Ketentuan model yang diajukan oleh The American Medical Record Association menyatakan bahwa informasi medis dapat dibuka dalam hal :
(a) memperoleh otorisasi tertulis dari pasien,
(b) sesuai dengan ketentuan undang-undang,
(c) diberikan kepada sarana kesehatan lain yang saat ini menangani pasien,
(d) untuk evaluasi perawatan medis,
(e) untuk riset dan pendidikan sesuai dengan peraturan setempat.
Di pihak lain, audit medis yang mereview rekam medis dapat saja menemukan kesalahan-kesalahan orang, kesalahan prosedur, kesalahan peralatan dan lain-lain, sehingga dapat menimbulkan rasa kurang nyawan bagi para profesional (dokter, perawat, dan profesi kesehatan lain). Oleh karena itu perlu diingat bahwa audit medis bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan medis dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan bukan untuk mencari kesalahan dan menghukum seseorang. Tindakan manajemen yang diusulkan oleh panitia untuk mengoreksi perilaku dan atau kapasitas perorangan harus dilakukan secara bijaksana sehingga tidak terkesan sebagai sanksi hukuman. Boleh dikatakan bahwa audit medis tidak mencari pelaku kesalahan (liable person/parties), melainkan lebih ke arah menemukan risiko yang dapat dicegah (avoidable risks) – sehingga arahnya benar-benar menuju peningkatan kualitas dan safety.
Dengan demikian dalam melaksanakan audit medis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Semua orang / staf yang turut serta dalam audit medis adalah mereka yang telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan kedokteran sebagaimana diatur dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966, dikenal memiliki integritas yang tinggi dan memperoleh penunjukan resmi dari direksi.
- Semua formulir data yang masuk dalam rangka audit medis tetap memiliki tingkat kerahasiaan yang sama dengan rekam medis, termasuk seluruh fotokopi dan fax.
- Harus disepakati tentang sanksi bagi pelanggaran atas rahasia kedokteran ini, misalnya penghentian penugasan / akses atas rekam medis, atau bahkan penghentian hubungan kerja.
- Seluruh laporan audit tidak diperkenankan mencantumkan identitas pasien, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Seluruh hasil audit medis ditujukan untuk kepentingan perbaikan pelayanan medis di rumah sakit tersebut, tidak dapat dipergunakan untuk sarana kesehatan lain dan tidak digunakan untuk menyalahkan atau menghukum seseorang atau satu kelompok orang.
- Seluruh hasil audit medis tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan (dalam keadaan tertentu, rekam medis tetap dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan.
A.Penyimpanan rekam medisPasal 10 Pennenkes No. 749a menyatakan secara tegas bahwa Rekam Medis harus disimpan sekurang-kurangnya selama 5 tahun terhitung sejak saat pasien terakhir berobat. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, masa penyimpanan ini termasuk singkat. Di negara bagian Califonnia Amerika Serikat, penyimpanan rekam medis
adalah 7 tahun sejak terakhir kali pasien berobat. Untuk pasien anak-anak, penyimpanan berkasnya bahkan sampai yang bersangkutan berusia 21 tahun , dan kalau perlu bahkan sampai 28 tahun. Di Pensylvania masa penyimpanannya lebih lama yaitu sampai 15 tahun, bahkan di negara Israel sampai 100 tahun. Dalam rangka penghematan ruangan penyimpanan, ada beberapa negara yang membolehkan berkas, yang berusia lebih dari 3 tahun dari saat terakhir pasien berobat, dialihkan menjadi berkas dalam microfilm.
Khusus untuk kasus-kasus yang menjadi perkara di pengadilan, American Medical Record Association dan American Hospital Association membuat pengaturan lebih lanjut dalam Statement on Preservation of Patient Medical Record in Health Care Institution. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa pada kasus biasa berkas Rekam Medis disimpan sampai 10 tahun terhitung dari saat pasien terakhir berobat. Sedang pada kasus yang diperkarakan di pengadilan, penyimpanan berkas Rekam Medisnya lebih lama lagi yaitu 10 tahun kemudian terhitung sejak perkara terakhimya selesai. “Berkas yang terlah habis masa penyimpannya dapat dimusnahkan, kecuali jika ada halangan oleh peraturan lain.
B. Komputeriasi Rekam Medis
Pemanfaatan komputer sebagai sarana pembuatan dan pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat dan mempertajam bergeraknya informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan medis. Namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila data medis pasien jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka dapat terjadi masalah hukum dan tanggung-jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh rumah sakitnya. Untuk itu maka standar pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas kertas harus pula diberlakukan pada berkas elektronik. Umumnya komputerisasi tidak mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi hanya menjadi less paper. Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print out).
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah :
- Informasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh personil yang berwenang.
- Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personil tertentu hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai, dengan menggunakan security level tertentu.
- Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa ijin pasien. Distribusi informasi medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orang-orang tersebut juga tidak diperkenankan memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain.
- Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya (atau ahli warisnya).
- Terminal yang on-line hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Rekam medis yang berbentuk kertas umumnya disimpan di Bagian Rekam Medis. Orang yang akan mengaksesnya harus menunjukkan kartu pengenal atau surat ijin dari direksi atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi, sekali rekam medis ini keluar dari “sarangnya”, petugas rekam medis tidak dapat lagi mengendalikannya. Mungkin saja rekam medis ini dikopi, diedarkan, dll.
Komputerisasi rekam medis harus menerapkan sistem yang mengurangi kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai harus memiliki PIN dan password, atau menggunakan sidik jari atau pola iris mata sebagai pengenal identitasnya. Data medis juga dapat dipilah-pilah sedemikian rupa, sehingga orang tertentu hanya bisa mengakses rekam medis sampai batas tertentu. Misalnya seorang petugas registrasi hanya bisa mengakses identitas umum pasien, seorang dokter hanya bisa mengakses seluruh data milik pasiennya sendiri, seorang petugas “billing” hanya bisa mengakses informasi khusus yang berguna untuk pembuatan tagihan, dll. Bila si dokter tidak mengisi sendiri data medis tersebut, ia harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam medis yang dilakukan oleh petugas khusus tersebut telah benar.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. Kopi rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima kopi berjanji untuk tidak membuka informasi ini kepada pihak-pihak lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis “read-only” yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya adalah apakah rekam medis elektonik tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed consent ? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana membuktikan ke-otentik-annya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik?
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per-telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat email yang diberi “signature”.
C. Hak Dan Kewajiban Pada Rekam Medis
Oleh karena RM berisikan keterangan tentang pasien, yang didalamnya melibatkan banyak petugas kesehatan, di samping juga sarana pelayanan tempat diselenggarakannya pelayanan kesehatan, maka masalah hal dan kewajiban di seputar RM mencakup bidang yang amat luas dan komplek sekali. Hak dan kewajiban yang dimaksud, jika disederhanakan adalah sebagai berikut :
Hak dan Kewajiban Pasien
Hak : Pasien berhak penuh atas keterangan tentang dirinya yang tertulis dalam RM dan petugas kesehatan tanpa persetujuan pasien tidak dibenarkan sama sekali menyebarluaskan keterangan tersebut.
Kewajiban : Pasien wajib memberikan keterangan yang benar dan lengkap tentang identitas, berbagai latar belakang serta masalah kesehatan yang dihadapinya.
Hak dan Kewajiban Petugas Kesehatan
Hak : Petugas kesehatan berhak memperoleh keterangan benar dan lengkap.
Kewajiban :
1. Petugas kesehatan wajib menjaga kerahasiaan ini RM dan tidak dibenarkan memberitahukan isi RM tersebut, termasuk juga kepada badan asuransi kesehatan, apabila sebelumnya tidak mendapat persetujuan dari pasien yang bersangkutan.
2. Bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kelengkapan penulisan isi RM tersebut.
Hak dan Kewajiban Sarana Pelayanan Kesehatan
Hak : Hak dari sarana pelayanan kesehatan, misal Klinik Dokter Keluarga, adalah memiliki RM yang dipergunakan. RM sebagai berkas adalah milik dan inventaris sarana pelayanan kesehatan, tetapi isinya adalah milik pasien.
Kewajiban : Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab mnyelenggarakan pelayanan RM yang baik, termasuk bertanggung jawab pula menyediakan berbagai tenaga, sarana, prasarana yang diperlukan
Syarat Rekam Medis
Di rumah sakit didapat 2 jenis RM, yaitu :
a. Rekam Medis Pasien Rawat Jalan
Adapun syarat dari isi rekam medis sekurang-kurangnya memuat catatan/dokumen tentang :
- Identitas pasien
- Pemeriksaan fisik
- Diagnosis/masalah
- Tindakan/pengobatan
- Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien
b. Rekam Medis Pasien Rawat Inap
Adapun syarat dari rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya memuat :
- Identitas pasien
- Pemeriksaan
- Diagnosis/masalah
- Persetujuan tindakan medis (bila ada)
- Tindakan/pengobatan
- Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien